Selasa, 03 April 2012

WONDERFULL INDONESIA

Wonderfull Indonesia” memang sebuah jimat yang ampuh dan pantas sebagai julukan negeri bumi pertiwi ini. Keindahan yang tertata secara apik membuat nuansa pesona negeri ini menjadi cerminan surga dunia. Bagai mana tidak, semua tersedia di sini mulai dari keindahan alam, keanekaragaman hayati hingga budaya tersimpan di lumbung kekayaan Indonesia.
Indonesia yang mempesona kali ini dapat dikata sedang dalam keadaan krisis sebagaimana banyak diungkapkan pada berita-berita yang saya jadikan kliping sebelumnya. Banyak penggerusan budaya dari luar yang secara tajam mematikan eksistensi budaya Indonesia secara perlahan.
Namun, saya salut akan tindakan beberapa pemuda negeri yang peduli dengan Indonesia. Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita Koran yang akhirnya saya jadikan salah satu judul kliping sebelumya. Dimana banyak sekali pameran-pameran float Indonesia yang diselenggarakan di Pasadena, California. Amerika serikat. Kegiatan itu semacam pawai dan Indonesia ikut serta untuk mengharumkan Indonesia atas nama bumi pertiwi ini.
Kegiatan tersebut sangat positif menurut saya. Dimana melalui kegiatan semacam parede seperti itu maka diharapkan Indonesia makin dikenal dunia. Menurut pemberitaan, mengenai pemberitaan parade di California itu mendapatkan decak kagum dari para wisatawan Amerika Serikat. Dalam berita itu juga diutarakan bagaimana reaksi masyarakat Amerika atas keindahan budaya Indonesia. Walaupun secara langsung saya tidak menyaksikannya. Tapi melalui pembaaan pemberitaan tersebut setidaknya membuat sedikit lega dengan kondisi budaya Indonesia.
Berbicara mengenai budaya Indonesia yang elegan. Sebenarnya telah ada dan sudah banyak dikenal dunia. Keanekaragam budaya di Indonesia bahkan telah membuat bangsa asing mengagumi akan keberadaan Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana setiap tahunnya para wisatawan asing berkunjung ke Indonesia dengan sejuta komentar kekagumannya.
Hanya saja yang menjadi masalah saat ini, adalah faktor internal yang timbul pada masyarakat Indonesia sendiri. Memang benar apa yang dipaparkan pada kliping yang saya temple sebelumnya bahwa kesadaran akan sejarah dan budaya yang minim pada pendidikan formal ikut serta mempengaruhi keberlangsungan kehidupan berbudaya.
Dimana pengajaran pendidikan kebudayaan dan seni telah termajinalkan. Dengan hanya bertumpu pada 2 jam pelajaran saja setiap mingguya. Dan tidak adanya atau minimnya pengajaran budaya yang bersifat extern diluar pendidikan di sekolah.
Kondisi semacam ini di perparah lagi dengan kesadaran kesejarahan masa lalu yang semakin terlupakan dan tetntu kesadaran akan kesejarahan kurang di perhatikan masyarakat. Mengapa hal ini bias terjadi? Saat ini program pendidikan formal berjalan dengan sepihak saja dalam arti, banyak pendidikan jaman sekarang lebih memproriataskan masa kekinian. Dimana para orang terdidik di tuntut untuk hanya sukses di masa kekinian. Dengan kesadaran yang minim serta melupakan perjalanan sejarah masa lalu.
Maraknya kasus korupsi saat ini sebenarnya ialah dampak dari penggerusan makna pendidikan, sejarah, dan kebudayaan tentunya fenomena korupsi saat ini adalah cermin dari orang-orang yang sebenarnya lupa akan sejaran dan budaya dahulu.
Padahal, masa kekinian untuk berhsil dan sukses di masa depan itu terbangun dari sebuah masa silam sejarah. Potert masa lalu, potert sejarah yang lalu, itu sebenarnya ialah pondasi awal pembangunan. Di mana melalui sejarah seharuanya setiap orang tidak akan mengulang masa-masa yang pahit yang pernah terjadi sebelumnya.
Solusi yang harus segera ditindak-lanjuti ialah adanya infrastruktur seni dan budaya yang sekarang ini keadaannya compang-camping. Melalui pratek langsung kedalam penerjunan kebudayaan yang harus di tingkatkan. Selain itu usaha mengadakn parade, karnival, pameran dan lain sebagianya di Indonesia sendiri juga harus di tingkatkan.
Seprti yang pernah dilakukan melalui aksi Solo Batik Carnifal (SBC) yang pembahasannya itu juga saya angkat di kliping saya sebelumnya. Dimana melalui kegiatan karnifal tahunan di dalam negeri seperti Solo Batik Carnafal itu dapat membangkitkan rasa cinta akan budaya sendiri.

NB : Mohon Maaf Untuk Soft-copy Kliping Menyusul Lain Waktu

"MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI" Sebagai Slogan Berunsur Politik Etis

Berawal dari langkah saya pada waktu itu dari Fakultas Adab dan Ilmu Budaya yang akan menuju ke sebuah tempat fotokopi. Saya mendapati seorang nenek tua berpakaian compang-camping sedang meminta-minta dengan segenggam gelas plastik kecil bekas minuman. Pemandangan itu saya jumpai di sebelah timur gedung Poliklinik UIN Sunan Kalijaga pada hari jum’at 30 Maret 2012 kemarin.
Saat itu saya tidak begitu merespon tentang situsi seperti itu. Setelah beberapa langkah saya mulai jauh dari nenek yang meminta-minta itu, entah bagaimana tiba-tiba fikiranku terbayang yang telah saya lewati tadi. Sekitar beberapa meter setelah melewati nenek pengemis itu saya menolehkan kepala kebelakang dan merasa prihatin dengan keadaan semacam itu. Saya memperhatikan beberapa mahasiswa lain yang juga tengah lewat di depannya tidak juga memberikan sedikit uang atau makanan kepada pengemis itu. Entah mereka memang tidak sedang membawa sedikit bekal atau uang ataukah memang tidak sedang ingin sedikit berbagi, yang jelas mereka cuma melewati begitu saja. Tak lainpun juga saya sendiri. Karena saya pun pada watu itu juga tidak sedang mengenggam uang kecil.
 

 Foto ini diambil langsung pada hari Jum’at 30 Maret 2012

antara pukul 11.00-11.15 WIB di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak lama saya memperhatikan kondisi yang saat itu sedang lumayan ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang melewati jalanan kecil di sebelah timur gedung Poliklinik itu. Saya segera meneruskan langkah saya meninggalkan pengemis itu secepatnya menuju tempat fotokopi karena desakan tugas-tugas yang menumpuk. Sesamapai di tempat fotokopi saya teringat lagi dengan apa yang telah saya lihat tadi. Sambil menunggu pelayan fotokopi yang sedang sibuk menyelesaikan tugasnya, saya menyesal sendiri karena tidak mengabadikan peristiwa saat itu. Saya menjadi amat prihatin dengan kondisi semacam itu. Dimana nenek tua berjilbab memakai topi dan baju kotor compang-camping sedang mengurai nasib di kampus kami dengan sedikit harapan iba dari para teman-teman mahasiswa. Dia duduk beralaskan tanah yang sedikit di lapisi rimput dengan kondisi yang terlihat lemas.

Berbekal handphone (HP) seadanya yang setia bersembunyi di kantong saku baju saya, segera saya tinggalkan tempat fotokopi itu seuasi beres keperluan saya. Dengan sedikit langkah cepat saya segera menuju kembali ke tempat kejadian perkara (TKP) tadi. Dan ternyata nenek tua yang sedang meminta-minta itu ternyata masih setia mengharap belas kasih dari para teman-teman mahasiswa yang lewat. Saya mencoba mengabadiakan peristiwa itu dengan kamera handphone seadanya. Sempat saya memotret tiga kali lantas saya segera meninggalkan nenek pengemis itu kembali.
Saya segera melangkah pergi dan semakin jauh dari tempat kejadin itu. Sejenak dalam langkah saya terselip pikiran apa yang sedang dilakukan para petinggi dan pengasa negeri ini. Sejenak saya konsentrasi dengan apa yang sudah saya lihat tadi. Saya sedikit melamun dalam langkah saya. Lantas saya mulai teringat dengan baliho, pamflet yang banyak tersebar di perempatan lampu merah di Yogyakarta. Dengan tulisan yang entah itu bisa dikatakan membela rakyat atau malah menyengsarakan rakyat. Banyak kita jumpai tulisan-tuisan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI”. Lalu kita seolah diperintahkan untuk membiarkan pengemis jalanan dan menyumbangkan sedikit uang kita pada lembaga, biro atau rumah penampungan dana bagi para orang-orang miskin.
Jika saya fikirkan, kebijakan dan harapan pemerintah penguasa agar kita membiarkan pengemis jalanan itu tidak memegang uang (dalam hal ini kita dilarang memberi) itu adalah politik etis belaka yang belakangan ini diterapkan pada sistem pemerinahan. Jika pemerintah dan para elit politik setuju dan bahkan dengan gencar-gencarnya memasang baliho bertuliskan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI” yang banyak di pasang di perempatan jalan, maka apa yang sudah mereka lakukan selama ini untuk memberdayakan para pengemis? Para elite pemerintah hanya memanfaatkan kesempatan itu hanya untuk mempercantik diri, mempercantik tata lingjungan kota tetapi tidak memikirkan solusi lanjut supaya hal ini terjadi secara balance.
Maka dengan itu, sama saja halnya terhadap lingkungan yang lain. Sebagai dampak dari kebijakan itu tentu bisa saja mereka (para pengemis dan gelandangan) mencari tempat perlindungan lain yang dirasa masih cocok untuk mengambil belas kasih orang lain. Seperti halnya nenek-nenek pengemis yang sempat saya foto diatas yang sedang mengadu nasip pada para mahasiswa yang lalu-lalang di depannya. Bukan tiak mungkin para pengemis yang masuk dalam area kampus sekalipun merasa tempat itu lebih cocok untuk meminta-minta. Dan hal itu sama saja nasibnya saat ia meminta-minta di jalanan umum. Toh, juga tata kehidupannya sama saja tidak mengalami perubahan. Dan itu jika masih berlanjut pasti akan beralih berurusan dengan pihak kampus dan keamanan nya. Dengan itu mereka pasti akan mencari tepat lain yang tidak akan merubah nasibnya.
Dan apabila kebijakan pemerintah untuk mempercantik diri dan mempercantik tata lingkungan kota dengan baik tanpa merugikan pihak yang lain, sudah pasti akan mencarikan solusi dengan baik dan benar. Solusipun sudah ditemukan dan diadakan. Namun apakah selama ini sudah berjalan dengan semestinya? Saya rasa tidak. Karena walaupun dipandang orang daerah perkotaan dan jalanan yang minim dengan pengemis tampak tertib, tetap saja di daerah pinggiran masih banyak pengemis.
Dan selogan-selogan “MEMBERI TIDAK SAMA DENGAN PEDULI” itu apa gunyanya? Hanya untuk memberikan kenyamanan para pengguna jalan yang juga para orang-orang elit? Lalu dana-dana sumbangan yang mereka anjurkan untuk disalurkan kepada yang berwenang itu buat apa? Pasti ada kong-kalikong dibalik itu semua. Mereka (para pemerintah) seharunya tanggap dengan apa yang mereka lakukan. Bukan hanya untuk kepentingan tata kota saja tapi juga harus mementingkan bagaimana nasib mereka (para pengemis) yang terlantur-lantur akibat tidak adanya orang yang berbelas kasihan karena fikiran mereka yang telah teracuni oleh selogan para pejabat elit itu.
Memang jika dianggap benar, ya memang benar bila tata kota, lingkungan, dan perempatan jalan nampak lebih indah dan tertib bila tanpa Pengemis dan Gepeng. Akan  tetapi kebijakan pemerintah yang hanya berpandang dari segi lingkungan semata tanpa memikirkan sosuli yang baik bagi para Gepeng dan Pegemis itu ya sama saja hasilnya “nol”. Maka sudah selayaknya para pemerintah juga menyediakan sarana pemberdayaan para Gepeng dan Pengemis jika mereka ingin para pengemis tidak lagi mengganggu ketertiban lalu-lintas.
Jadi buat apa selogan itu tetap diaadakan bila tidak adanya keseimbangan kebijakan? Tidak adanya sarana pelatihan dan pemberdayaan bagi para Gepeng dan Pengemis serta tidak ada kejelasan dana sumbangan yang sudah mengalir di lembaga yang berwenag tetap saja akan membuat para Gepeng dan Pengemis merasa sengsara. Dan lagi-lagi indikasi penyalah gunaan dana yang di pegang pemerintah yang akan dipertanyakan.
Oleh :
Chafid Masrur Afida
Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
UIN Sunan KalijagaYogyakarta

"SEKATEN" Sebagai Khazanah Kulturasi Islam Jawa

Assalamu’alaikum,  jumpa lagi kawan-kawan semua bersama saya. Setelah sekian lama saya tidak atau jarang posting mengenai apa yang ingin saya obrolkan, maka kali ini saya hadir kembali untuk sekedar berdiskusi dengan kawan-kawan pembaca sekalian. Hal ini saya harapkan dapat saling membagi pengetahuan dan informasi sekaligus ilmu yang bermanfaat di antara kita semua. Karena apalah gunanya media secanggih ini bila tidak sebaik mungkin kita gunakan oleh hal yang bermanfaat. Oke, langsung saja saya disini memuali pembahasan tentang apa yang ingin saya sampaikan kepada kawan-kawa pembaca sekalian.
Dalam hal ini saya ingin berbicara dan sekedar berbagi ilmu dengan kawan-kawan semua atas apa yang telah saya punyai. Berbicara mengenai kebudayaan yang selama ini saya banggakan dan saya merasa mempunyai perhatian yang lebih akan hal semacam ini. Dimana saya ingin mengajak kawan-kawan dalam menganalisis seputar sejarah yang dengan ini saya mengambil pembahasan seputar budaya “Sekaten” yang ada di sekitar kita khususnya dalam kebudayaan jawa.
Ternyata, sepengatahuan saya dan menurut berbagai literatur yang saya ketahui dan pernah saya baca. Kata “Sekaten” itu berasal dari kata “Syahadatain”. Namun hal itu adalah slah satu asal kata dari berbagai fersi yang pernah saya baca. Sebenarnya kata “Sekaten” itu menurut para peneliti dan sejarawan yang tercantum dalam karya tulis mereka dikatakan sekaten itu tidak hanya dari kata “Syahadatain”. Akan tetapi juga berasal dari kata “Sekati” dan kata “Sesak ati”. Yang berarti “Sekati” itu berarti sebuah alat pemukul semacam gong yang biasa digunakan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton. Sedangkan “Sesak ati” adalah sebuah kesedihan dari putri Nabi Muhammad SAW atas meninggalnya putrinya. Dan ini dikaitkan dengan kesedihan Prabu Brawijaya sewaktu mendengar gamelan Kyai Sekar Delima yang menyayat hati.
Namun kali ini saya hanya sekedar fokus pada kata “Syahadatain” saja sebagai salah satu pendapat bahwa kata ini adalah cikal bakal kata “Sekaten”. Sekaten adalah sebuah tradisi yang sekarang ini masih eksis dalam upacara-upacara besar tradisional mayarakat jawa. Bahkan sampai sekarang ini masih sering berlangsung di Yogyakarta setiap tahunya. Dalam sebuah literatur dan sumber yang pernah saya baca, dulu ada sebuah upacara besar keagamaan yang pada waktu itu masih bercorak Hindu Budha. Dan upacara itu dinamakan Kurban Raja.
Oleh kerajaan demak pada waktu itu yang sudah beraliran islam ingin merubah tradisi dan kebiasaan rakyatnya agar segera mungkin cara hidupnya diislamkan. Dengan berbagai gejolak dan pemikiran serta strategi yang amat lama maka, oleh para wali Sembilan Sultan Demak di perbolehkan meyelenggarakan tradisi rakyatnya asalkan disesuaikan dengan adat dan syari’at islam. Do’a-do’a yang biasaya di gunakan dalam acara korban raja segera di sesuaikan dengan do’a-do;a yang bercorak islami. Pun juga demikian nama Kurban Raja di rubah menjadi “Sekaten” dengan mengandung makna “Syahadatain”. Sebagai bekal dakwah agar masyarakatnya masuk islam.
Setelah sekian lama berlanjut, kemudian setelah Raja Kesultanan Demak meninggal maka kepemimpinannya digantikan oleh menantunya Jaka Tingkir yang pada akhirnya mendirikan kerajaan sendiri di derah Pajang. Demikian seterusnya hingga sampai pada tradisi adat dalam keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Untuk detailnya masalah perjalanan Demak ke Pajang lalu berlanjut sampai ke Yogyakarta yang hubungannya erat dengan asal usul kata “Sekaten” saya jujur dalam hal ini belum bisa secara detail mengungakapkannya. Ini hanya sekedar informasi yang saya dapatkan dari Jurnal terbitan fakutas saya.
Jadi pada intinya kata “Sekaten” yang banyak digunakan dalam perayaan dan upacara besar keagamaan yang ada di Jawa, itu adalah hasil akultrasi budaya untuk mengislamkan penduduk Demak pada waktu itu. Dan akhirnya meluas hingga ke berbagai pelosok sampai sekarang. Dengan keluesan dakwah akhirya adat dan kebiasaan masyarakat Hindu-Jawa pada waktu itu dapat berubah menjai unsur keislaman. Namun tetap jati diri dan identias budaya tetap bertahan sampai sekarang. Hingga lahirlah budaya dan tradisi Islam Kejawen yang tetap memegang teguh syariah islam. Alangkah bijaksananya dan cerdasnya Raden Patah sebagai raja pertama kerajaan islam untuk mendakwahkan islam di tanah Jawa. Sehingga masyarakat jawa dengan senang hati tanpa adanya unsur kekerasan menjadikan jawa islam. Subhanallah…

Senin, 23 Januari 2012

Batik :
     Seni batik dari indonesia, khususnya pulau jawa, telah diakui oleh warisan budaya dunia oleh UNESCO. Kesenian membatik di pulau Jawa sudah berusia ribuan tahun. Sejarahnya dapat diamati dari motif batik itu sendiri antara lain lukisan tanaman, binatang, dan cerita jaman dahulu. Untuk mempergunakan teknik membatik, kita harus lebih dahulu mengetahui beberapa cara mencelup. Untuk mencelup batik harus dipakai zat-zat yang berhubung dengan lilin yang dipakai untuk membatik, dicelup dalam celupan yang dingin. sebaliknya zat warna tadi harus mempunyai warna yang baik dalam air mendidih, untuk menghilangkan lilin tadi.
     Lukisan-lukisan batik kuno yang terkenal terdiri atas garis-garis dan titik-titik yang serba sederhana serta mudah dilukis dengan cara menuang atau menitik-nitikkan linen yang sudah dilumuri di atas kain.Akhiran "tik" pada kata "batik" berasal dari "menitik, menetes". Sebaliknya perkataan "batik" dalam bahasa krama serat dan dalam bahasa ngoko "tulis" atau melukis dengan lilin.
     pekerjaan membatik di jaman dahulu merupakan suatu pekerjaan kebanyakan wanita dari kalangan bagsawan dan hasilnya hanya dipakai untuk kebutuhan keluarga sendiri. Juga ada peraturan keras bahwa seseorang hanya boleh memakai lukisan batik yang di izinkan. dari beberapa macam lukisan batik, di antaranya "parang rusak" hanya boleh dipakai oleh raja dan dilarang keras dipakai oleh orang biasa. Oleh sebab itu batik dengan lukisan ini dinamakan juga "larangan". Semakin lama batik semakin berkembang dan kini sudah banyak berdiri Industri-industri batik.
     Pada tahun 1860, telah ada cara membatik dengan cap. yaitu cap dari tembaga. dengan alat ini , mudah sekali diperoleh lukisan lilin di atas kain. Adapun bahan-bahan untuk membuat batik yaitu kain kapas. Dahulu, kain kapas di buat di pulau Jawa sendiri. sekarang memakai kain tenun impor. Ukuran-ukuran kain untuk batik tadi penting sebab batik pada umumnya memiliki ukuran tertentu, sebab  itu, perlu di buat suatu ukuran dan perbandingan yang tertentu pada kain batik yang akan di buat sehingga pada waktu dipotong tidak banyak yang terbuang.
     Beberapa daerah yang menjadi pusat batik yang populer, namum sulit untuk menentukan perbedaan antara masing-masung pusat batik tersebut. Namun pada garis bersarnya, pusat batik di indonesia ada di beberapa daerah antara lain : Jakarta dan sekitarnya, Tasikmalaya, Banyumas-Kedu, Cirebon, Tegal-Pekalongan, Solo, Yogyakatya, Tulungagaung, Ponorogo, dan Lasem. 
Sumber : Tim Elmatera. 2010. Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Lima Faktor Terjadinya Pemberontakan
Kafir Quraisy Terhadap Rasulullah SAW
Kawan-kawan seiman yang berbahagia. Pada kali ini saya akan mencoba membahas sedikit mengenai hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa sejarah pemberontakan kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW. Di mana pada saat itu dakwah Rasulullah semakin bertambah keberhasilannya. Pengikutnya semakin banyak, akan tetapi di lain pihak juga bertambahnya tantangan keras dari kafir Quraisy semakin menjadi-jadi,
Menurut beberapa sumber mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kenapa kafir Quraisy memusuhi Muhammad SAW lebih berat pada saat dakwah Muhammad mulai tampak keberhasilannya.
Pertama karena pada saat itu kaum kafir Quraisy tidak dapat membedakan antara kekuasaan dengan kenabian. Mereka mengira dengan tunduk kepada Muhammad, berarti mereka tunduk kepada Bani Abdul Mutholib. Padahal tidak demikian. Kesimpulan dari faktor pertama ini berarti kenabian Muhammad itu tidak sama dengan kekuasaan. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa kebaikan dari Allah SAW tidak serta merta menjadikan sebuah kekuasaan politik. Singkatnya, kebaikan yang di seru oleh Rasulullah itu jauh dari tujuan politik.
Kedua nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara kaum bangsawan dengan kaum hamba sahaya. Pada waktu itu kaum kafir Quraisy tidak menyetujui akan hal ini. Karena politik kafir Quraisy pada waktu itu adalah bangsawan menjadi penguasa atas rakyat yang berkelas bawah. ini menjadikan kita pelajaran bahwa hakikat keberadaan manusia itu sama semua. Tidak ada kesenjangan sosial. Muhammad mencontohkan hal demikian memang benar. Supaya tata kehidupan manusia di bumi ini saling menghormati. Karana yang membedakan manusia itu adalah hanya tingkat keimanannya kepada Allah SWT, bukan dari ras, suku atau kaya miskinnya seseorang…
Ketiga para pemimpin kafir Qurisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitam kembali dan hari pembalasan di Akhirat. Hal ini seakan-akan mencerminkan bahwa orang kafir Quraisy takut hal itu akan terjadi apabila ia mengikuti ajaran Rasulullah SAW.
Keempat taqlid kepada nenek moyang ialah hal yang telah berurat akar pada bangsa Arab.
Kelima pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rizki. Karena memang sesunggunya dalam Islam tidak di perbolehkan seseorang melukiskan benda hidup ciptaan Allah. Dan juga pada saat itu banyak kafir Quraisy melakukan pendekatan diri kepada tuhan dengan cara menyembah patung atau berhala. Maka disitulah sebenarnya akhlaq mereka hendak diperbaiki oleh Rasulullah SAW. Bahwa yang hak untuk di sembah itu hanyalah Allah, bukan sebuah patung…
Sumber : 1) Buku Sejarah & Peradaban Islam Karya Dr. Badri Yatim, M.A
              2) Buku Sejarah & Kebudayaan Islam Karya Prof. Dr. A. Syalabi
              3) Sumber lisan dari Dosen Sejarah & Kebudayaan Islam, Fak. Adab & Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ibu Dra. H. Ummi Kulstum, M. Hum

Jumat, 20 Januari 2012

kunci kesuksesan seseorang berada pada dirinya sendiri, ridlo ke-dua orang tua, dan juga guru-gurunya... apa bila salah satu itu hilang bagaikan manusia itu berjalan dengan kaki pincang walaupun tidur di atas ranjang istana...
pada dasarnya kemampuan manusia sama saja.. hanya saja bagaimana kita tinggal menggunakannya, berusaha, dan sabar. seseorang mempunyai kekuatan yang kuat yang dapat mengalahkan semuanya kecuali Allah.. yaitu kekuatan fikiran.. tinggal apa yang kita usahakan dengan kekuatan fikiran yang mantap niscaya Allah akan memberi jalan yang terbaik...